Perjalanan memang selalu menyisakan ruang untuk bertanya, berpikir, berharap dan bersyukur bila kita dapat memaknainya. Karena di bus itu, kita bercerita..
Dramaga - Bandung, 26 Juni 2014
Pagi-pagi sekali berangkat, masih jam 6 pagi. Ya, saya ingin pulang sejenak, merehatkan diri dari kepenatan aktivitas kampus. Menyempatkan diri untuk menatap wajah-wajah keluarga sebelum Ramadhan pertama. Ah, memang rumah itu selalu menjadi tempat yang menagih kerinduan.
Pagi-pagi sekali berangkat, masih jam 6 pagi. Ya, saya ingin pulang sejenak, merehatkan diri dari kepenatan aktivitas kampus. Menyempatkan diri untuk menatap wajah-wajah keluarga sebelum Ramadhan pertama. Ah, memang rumah itu selalu menjadi tempat yang menagih kerinduan.
Bus jurusan Leuwi**ng - Leuwipanjang berhenti di depan saya begitu sampai di pinggir jalan raya Kampus. Tepat ketika itu, ada dua mahasiswa yang sepertinya juga menantikan kedatangannya sambil membawa beberapa tentengan, semacam oleh-oleh khas Bogor. Hem, saya tidak sendiri rupanya. Yah, sudah tradisi bila pulang ke kampung halaman yang hanya 2 kali dalam setahun. Gak afdhol rasanya kalau gak bawa oleh-oleh meski hanya cemilan "fresh from the oven" kesukaan adik laki-laki saya.
Hap, saya sampai di dalam bus. Cepat-cepat mencari bangku kosong dan dapatlah di bangku paling depat di pinggir jendela setelah seorang ibu menawarkan bangkunya begitu melihat saya kebingungan karena tidak ada bangku yang tersisa. Rupanya ia membawa anaknya yang masih kira-kira sekitar 7 tahun-an. Agak kasihan juga, merasa saya telah bersalah merebut bangku anaknya. Saya tersenyum, menghargai kebaikan ibu tersebut sambil berusaha menawarkan tempat duduk untuk anaknya meski hanya sedikit nyempil. Tapi ibu itu sangat baik dan malah menawarkan bangkunya untuk ibu-ibu separuh baya yang membawa seorang anak. Ia malah berpindah ke depan, menemani sang supir dengan duduk tanpa kursi. Ah, selalu. Perjalanan itu selalu menyisakan rasa syukur bahwa di antara puluhan orang di bus ini. "Ternyata masih ada orang berhati baik.."
Saya
tersenyum pada ibu-ibu separuh baya yang menjadi teman sebangku saya
dalam perjalanan Dramaga - Bandung itu. Ia kelihatan kerepotan menyuapi
anak yang dibawanya.
" Ibu mau ke mana? " Saya bertanya memulai percakapan.
" Mau ke Dago " Ibu itu menjawab sambil tersenyum.
Suasana sudah agak cair, membuat Ibu itu terpancing untuk bercerita tentang ia dan anak yang sedang disuapinya.
" Ini cucu saya, dia malas makan kalau gak disuapi.. "
Hipotesis
saya yang menyatakan bahwa itu adalah anaknya rupanya salah besar, anak yang saya kira adalah anak kandungnya faktanya adalah
cucunya. Akhirnya cerita panjang dimulai dari sana. Berawal dari
perkenalan seorang mahasiswa hingga akhirnya saya mendapat kesimpulan
bahwa saya bertemu dengan orang yang tidak sembarangan. Ibu yang telah
melahirkan ilmuwan besar, salah satunya adalah dosen sekaligus al-ustadz
di Kampus saya. Meskipun dosen tersebut adalah dosen dari fakultas
lain, yaitu fakultas Peternakan tapi saya kenal karena beliau sering
mengisi kajian di Mesjid Al-Hurriyyah.
"Dulu dia itu kuliah
umurnya masih 15 tahun.. " Ibu itu bercerita penuh kebanggaan.
Saat itu
anaknya memang sangat muda sekali untuk menginjakan kaki di bangku
kuliah. Bukan apa-apa, karena beliau memang punya potensi yang luar
biasa dibanding anak-anak sebayanya. Ibu itu bercerita dengan semangat
sekali menceritakan masa kecil anaknya.
"Ibu, ibu. Aku bawa hadiah banyak. Aku menang lomba X,Y,Z.."
Yah,
dosen kecil itu memang punya skill membuat orang lain skak-mat dalam berbagai perlombaan anak-anak. Potensi luar biasa yang dimiliki dosen kecil itu pun masih berlanjut
ketika gurunya mengatakan bahwa dosen kecil itu tidak pantas untuk
melanjutkan sekolah dasar lagi. Ia harus merelakan dirinya menggeluti
dunia pendidikan lanjut yang sama sekali ia merasa asing. Merasa bahwa
ia belum cukup dewasa untuk menerima perbedaan itu. Apalagi dengan
badannya yang mungil namun otak yang besar itu ia harus menghadapi
hari-harinya dengan penug kesedihan karena olokan "abang-abang" yang menjadi
teman sekelasnya sejak ia dikeluarkan secara terhormat dari Sekolah
Dasar. Ia memang terlalu berharga dan luar biasa menerima perbedaan itu.
Bukan salahnya bahwa ia dikarunia kecerdasaan melebihi anak-anak pada
seusianya. Ia harus berpisah dari sebuah desa di gunung terpencil ke
pusat kota Kembang. Dimana kepedihan yang berbuah manis itu bermula.
Awalnya
dosen kecil kesulitan untuk beradaptasi dengan pendidikan sekolah
menengah pertama saat dirinya seharusnya masih mengenyam bangku kelas 5
sekolah dasar. Wajar bila ada gap anak desa ke anak kota sehingga ia
kesulitan beradaptasi. Ia meraih peringkat kedua terakhir di kelas,
tidak lagi peringkat pertama seperti kemarin. Ketika ia masih menikmati
serunya bermain kelereng bersama teman sebanyanya, peringkat pertama itu
mudah sekali ia dapatkan. Namun, sejak ia memulai dunia barunya dosen
kecil itu merasa menjadi anak yang paling menyedihkan. Terlebih karena
ejekan teman-temannya yang tak pernah berhenti sebab perawakannya yang
kecil. Alakhir, ibunya membuat sebuah keputusan besar. Mengeluarkannya?
Bukan, dosen kecil tidak dididik untuk menjadi pengecut. Ibunya percaya
bahwa ada sebuah kekuatan besar untuk mendorong anaknya menjadi luar
biasa.
" Kalau kamu gak mau diejek karena kamu masih kecil,
tunjukan dengan prestasi kamu! Kamu harus belajar dan menjadi rangking
satu"
Dosen kecil itu tertegun, merasakan ada angin segar
berhembus di atas kepalanya. Ya, ibunya telah membuat keputusan yang
tepat untuk anaknya. Memotivasinya untuk bangkit, bukan menyalahkan
nasib anaknya apalagi sampai memutus rantai pendidikan. Sejak saat itu,
dosen kecil meminta ibunya membangunkannya setiap jam 03.00 pagi.
Terkadang ia belajar dengan terkantuk-kantuk, membuat ibunya turun
tangan untuk mengusapkan lap basah di wajahnya.
Lambat laun,
dosen kecil mulai terbiasa belajar setiap pagi. Ia memang tipe orang
yang hanya bisa belajar dalam suasana hening. Beruntunglah ibunya
memahami karakter dosen kecil hingga ia terfasilitasi dengan bantuan
ibunya. Dosen kecil mengalami perkembangan akademik yang luar biasa. Ia
berhasil mengalahkan "abang-abang" di kelasnya.
"Ibu, ibu! Aku
rangking satu!" Dosen kecil berteriak-teriak kegirangan.
Ibunya
tersenyum sumringah. Bangga atas kerja kerasa anaknya. Harus melawan
kantuk pada awalnya hingga akhirnya ia terbiasa menikmati siklusnya.
"Nah, sebagai rasa syukur kamu sekarang coba sholat tahajjud sebelum kamu belajar .." Ibunya berkata sambil tersenyum ke arah dosen kecil.
Dosen
kecil tak pernah sekalipun membantah perkataan ibunya. Ia sudah
merasakan efek yang luar biasa dari ucapan ibunya seakan-akan itu
keputusan paling tepat untuk hidupnya. Ia mulai terbiasa sholat malam
dan merasakan banyak perubahan pula dalam hidupnya. Dosen kecil
merasakan hidupnya banyak disuguhi dengan kenikmatan dan rezeki yang tak
diduga-duganya.
Ia berhasil menyabet beberapa kejuaraan di sekolahnya. Ya, habibie kecil itu kini bukan lagi si perawakan kecil yang sering diejek "abang-abang" di sekolahnya. Ia berhasil meningkatkan kepercayaan dirinya dengan prestasinya tersebut. Ia menamatkan SMA ketika dirinya masih usia 15 tahun dan mulai menapaki masa perkuliahan hingga mengantarkan ia meraih gelar Cumlaude yang tak mudah dicicipi oleh mahasiswa di Bogor. Ibunya bercerita bagaimana dosen kecil belajar beradaptasi dengan kondisi asrama yang selalu gaduh sehingga ia kesulitan untuk berkonsentrasi ketika belajar. Ibunya selalu memberikan jawaban yang ampuh dan membuat dosen kecil merasakan efeknya yang luar biasa. Ia belajar ketika orang lain tidur, sholat malam dan belajar lagi hingga akhirnya fajar tiba. Begitu teman-teman sekamarnya bangun, ia sudah percaya diri untuk memulai perkuliahan di kelas setiap hari. Ya, perjalanan hidup tidak berhenti sampai di sini. Setelah lulus, dosen kecil berazzam pada dirinya untuk melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi dosen, seperti cita-cita kecilnya. Bahwa ia memang ingin menjadi guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Yang gajinya mungkin tak seberapa dibanding para pengusaha, milyarder, atapun profesi lainnya yang menjajikan kenikmatan duniawi yang tak pernah memenuhi kadar kepuasan manusia.
Ia berhasil menyabet beberapa kejuaraan di sekolahnya. Ya, habibie kecil itu kini bukan lagi si perawakan kecil yang sering diejek "abang-abang" di sekolahnya. Ia berhasil meningkatkan kepercayaan dirinya dengan prestasinya tersebut. Ia menamatkan SMA ketika dirinya masih usia 15 tahun dan mulai menapaki masa perkuliahan hingga mengantarkan ia meraih gelar Cumlaude yang tak mudah dicicipi oleh mahasiswa di Bogor. Ibunya bercerita bagaimana dosen kecil belajar beradaptasi dengan kondisi asrama yang selalu gaduh sehingga ia kesulitan untuk berkonsentrasi ketika belajar. Ibunya selalu memberikan jawaban yang ampuh dan membuat dosen kecil merasakan efeknya yang luar biasa. Ia belajar ketika orang lain tidur, sholat malam dan belajar lagi hingga akhirnya fajar tiba. Begitu teman-teman sekamarnya bangun, ia sudah percaya diri untuk memulai perkuliahan di kelas setiap hari. Ya, perjalanan hidup tidak berhenti sampai di sini. Setelah lulus, dosen kecil berazzam pada dirinya untuk melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi dosen, seperti cita-cita kecilnya. Bahwa ia memang ingin menjadi guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Yang gajinya mungkin tak seberapa dibanding para pengusaha, milyarder, atapun profesi lainnya yang menjajikan kenikmatan duniawi yang tak pernah memenuhi kadar kepuasan manusia.
"Bu, doakan saya, saya sekarang mau S2 ke Jerman..saya dapat beasiswa ke sana "
Sekali
lagi ibunya hanya tersenyum. Ia hanya bisa mendoakan semoga ilmu yang
didapatnya membawa manfaat bagi banyak orang. Ibu dari dosen kecil itu
bercerita tentang kemudahan-kemudahan yang didapatkan anaknya ketika
meneruskan kuliahnya. Ia mendapatkan beasiswa DAAD Jerman atas
rekomendasi salah satu dosen di kampusnya. Dan baru kemarin ia
meneruskan S3 lagi dengan tanpa biaya sepeser pun.
" Ibu, doakan saya. Saya dapat beasiswa lagi di Swiss untuk melanjutkan S3 di sana.. "
Ibu
dosen kecil itu lagi-lagi tersenyum. Merasa bahagia mendengarnya.
Bukan, bukan masalah anaknya yang dengan mudah mendapatkan beasiswa
sehingga ia tidak perlu membiayainya. Lebih berharga dari sekedar itu
adalah ia bahagia karena ia telah menjadi ibu yang berhasil memberi
anaknya kekuataan ketika anaknya terpuruk. Ia berhasil membuat anaknya
merasakan keberadaannya begitu berharga di dunia ini. Dosen kecil itu
tak pernah absen meminta nasehat ibunya apapun masalahnya. Ia hanya bisa
mengusahakan yang terbaik bagi anaknya namun tak luput dari campur
tangan Allah. Meski takdir rezeki, jodoh, kelahiran, kematian adalah
rahasia Allah dan sudah ditetapkannya jauh 50.000 tahun sebelum kita
lahir ke dunia. Sejatinya, manusia hanya bisa berusaha.
Saya
menyimak sambil sesekali menimpali. Mendengarkan dengan seksama dengan
mata berbinar. Mendengarkan langsung dari pelaku yang membawa perubahan
besar pada sosok hebat itu. Dosen yang saya kenal begitu tersohor di
fakultas seberang. Bahwa di balik perjalanan karirnya, tersimpan sejarah
yang membuktikan bahwa doa seorang ibu, peran seorang ibu dalam
membangun karakter seorang anak adalah berharga. Kita, tanpa orang tua,
tanpa ridho orang tua, tanpa ridho Allah tak berarti apa-apa.
Ibu
itu sudah berhenti bercerita. Saya mengalihkan pandangan ke jendela.
Memandang harapan besar jauh ke dalam hati kecil. Sudahkan melibatkan
orang tua, terutama doa Ibu dalam setiap aktivitas kita? Sudahkan kita
melibatkan Allah di setiap harapan kita? Di setiap mimpi kita? Allahu,
mimpi menuju negeri sakura itu kian terasa. Menginjakan kaki di sana,
menikmati suasana perkuliahan dei negara yang sarat Sains dan Teknologi
dengan biaya yang tergolong sangat mahal mungkin mustahil bagi mahasiswa
kalangan menengah ke bawah seperti saya. Tapi saya percaya, dosen kecil
itu pun membuktikannya bahwa mimpi itu tidak semata-mata berasal dari
tekad yang membaja dari diri kita. Bukan kita yang memiliki kekuatan
Power Ranger. Tapi Allah, Allah yang memberi kekuatan dan kemudahan itu.
Ridho Allah, ridho Orang tua. Manusia hanya bisa berusaha dan
bertawakal. Faidzaa Azzamtu Fa tawakkal 'Alallaah...
Karena di bus itu, kita bercerita..