Rabu, 17 Juni 2015

MENDEKATLAH DENGAN BATAS KESEMPURNAAN KEPEMIMPINAN ROSULULLAH

Leave a Comment
Michael Heart, penulis buku 101 tokoh paling berpengaruh di dunia berani menyatakan bahwa Muhammad adalah tokoh yang menempati posisi nomer wahid di dunia. Apa sebetulnya keistimewaan yang dimiliki oleh nabi Muhammad? Jika kita membaca kembali sirah nabawiyah, pantas lah jika michael berkata demikian. Kita sebagai ummatnya akan berdecak kagum dengan pesona kepribadiannya. Tak heran bila kepemimpinan beliau sepanjang hidupnya menjadi sorotan banyak manusia di era sekarang ini. Kita akan melihat bagaimana kepemimpinan beliau dalam menata negara, mengatur siasat perang, bahkan dalam rumah tangga beliau yang menerapkan konsep keadilan dengan sebaik-baiknya. Adalah nabi Muhammad yang kepemimpinannya menjadi role model yang menyeluruh dari segala aspek kehidupan dengan Al-Qur’an sebagai mukjizatnya. Apa yang keluar dari ucapannya tidaklah berupa janji manis semata yang kini menjadi problema utama : krisis kepercayaan pada pemimpin. Beliau mampu memberikan perubahan yang integral dan  kontinu hingga kebaikan perubahan tersebut dapat dirasakan oleh umat terdahulu hingga saat ini. Jika kita ingin berbicara karakter apa yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka semua terangkum dalam satu kesatuan kepribadian nabi Muhammad saw.

Kasih sayang
Nabi Muhammad menjadi salah satu contoh figur yang kasih sayangnya pada ummatnya, pada rakyatnya melebihi rasa cintanya pada dirinya. Bahkan di akhir hayatnya, bukti itu terpatri pada ucapannya yang mengatakan : ummati.. ummati.. ummati.. . Kelembutan hati beliau menjadi salah satu pesona seorang pemimpin dalam melunakan orang yang sangat membenci bahkan ingin membunuh beliau. Masih teringat kita dengan cerita seorang pengemis yahudi buta yang selalu diberi makan oleh tangan beliau setiap pagi. Sayangnya, pengemis tersebut tidak tahu bahwa yang memberi makan tersebut adalah orang yang sangat ia benci hingga ke ubun-ubunnya. Hingga akhirnya ketika suatu hari tangan yang menyuapinya bukanlah tangan yang biasa menyuapinya setiap padi, ia tersadar. Barulah ia mengetahui bahwa sosok yang dibencinya selama ini adalah sosok yang rela menyuapinya setiap pagi. Pantas lah bila orang-orang terdekatnya sangat kehilangan ketika sosok selain beliau mengganti posisi kepemimpinannya. Pun kita sebagai ummatnya tak bisa memungkiri bahwa kelembutan hati beliau menjadikan kita rindu akan sosok pemimpin ideal layaknya beliau. Seorang pemimpin memerlukan hati yang lembut untuk bisa memahami lingkungannya, sehingga hanya langkah-langkah bijak lah yang akan dieksekusinya.

Ahli Strategi
Seorang pemimpin memerlukan strategi yang cemerlang dan realitis untuk bisa dieksekusi. Tidak tergesa-gesa namun tidak juga lambat dalam mengambil keputusan. Rosulullah memimpin 9 perang besar dan 53 ekspedisi militer. Dari semua perang tersebut, hanya sekitar 350 orang yang syahid. Beliau mampu memetakan potensi orang-orang yang dipercayanya hingga kerja sama untuk membentuk strategi yang cerdas dan realistis pun dapat diwujudkan. Rasulullah merupakan seorang ahli dalam pengaturan strategi militer. Dalam suatu kisah disebutkan, pasukannya dibawa ke kaki Bukit Uhud. Pasukan muslim mengambil tempat dengan proses menghadap ke arah Madinah dan memunggungi Uhud. Dengan posisi ini, pasukan musuh berada di tengah antara mereka dan Madinah. Inilah salah satu bentuk strategi cemerlang yang dimiliki oleh rosulullah. Strategi ini tak lepas dari keberanian dan kecerdasan beliau dalam mengambil suatu keputusan

Musyawarah
Rosulullah adalah panglima yang selalu mengutamakan musyawarah ketika mengambil suatu keputusan. Beliau selalu meminta pendapat sahabat-sahabatnya meskipun ia seorang nabi yang langsung mendapatkan arahan dari Allah. Maslahat musyawarah dapat dilihat dari strategi perang Badar yang saat itu jumlah kaum muslimin sangat kecil dibanding pasukan Quraisy. Setelah mendengar pendapat para sahabat, akhirnya keputusan untuk tetap berperang pun dilaksanakan. Hasilnya kemenangan telak ada di depan mata umat islam saat itu. Musyawarah diikuti akal yang sehat dan mata batin yang tak hentinya lepas dari campur tangan Allah saat itu menjadi saksi atas bentuk kehati-hatian seorang pemimpin. Tidak tergesa-gesa tapi juga tidak lamban.

Berani
Rosulullah adalah seorang yang sangat berani menegakan keberanan tanpa ada rasa takut akan cemoohan dunia, bahkan kematian sekalipun.

Sabda rosulullah:
“Sesungguhnya aku telah mendapat berbagai teror dan ancaman karena membela agama Allah .Dan tidak ada seorangpun yang mendapat teror seperti itu. aku telah mendapat berbagai macam gangguan karena menegakkan agama Allah . Dan tidak seorangpun yang mendapat gangguan seperti itu. Sehingga pernah kualami selama 30 hari 30 malam, aku dan Bilal tidak mempunyai sepotong makanan pun yang layak untuk dimakan manusia kecuali sedikit makanan yang hanya dapat dipergunakan untuk menutupi ketiak Bilal.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Inilah model yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Ketika yang dipegangnya adalah kebenaran, maka tak akan pernah ia rela melepaskannya. Ia genggam erat kebenaran itu dan akan berusaha untuk membelanya. Adalah Rosulullah, satu-satunya pemimpin yang memiliki jiwa selembut kapas dan teguh sekeras baja terhadap prinsipnya.
Kasih sayang, berani, musyawarah,ahli strategi hanyalah segelintir dari model ideal kepemimpinan rosulullah. Betapa inginnya kita menemukan kembali sosok pemimpin seperti itu. Meski manusia adalah makhluk Allah yang jauh dari kesempurnaan, akan tetapi semua orang harus yakin bahwa dalam bekerja haruslah kita mendekati batas-batas kesempurnaan tersebut. Semoga kita adalah salah satunya.

Allah, kami rindu dengan pemimpin yang hatinya tak pernah dibumbui dengan rasa iri, dengki, bahkan dendam terhadap saudaranyaAllah, kami rindu pemimpin yang berani menegakan kebenaran, melindungi hak-hak rakyatnya dengan segenap jiwa raganya
Allah, kami rindu pemimpin yang mampu mengajari kami betapa nikmatnya berjuang di jalan Allah yang diridhoiAllah, kami rindu pemimpin yang mampu menularkan optimismenya pada kami bahwa bangsa ini bisa berubah
Read More...

Kamis, 07 Mei 2015

Kepada Siapa Kita Bertanggung Jawab?

Leave a Comment

Seorang muslim yang KUAT secara PRIBADI (afiliasi), karena ia memiliki paradigma kehidupan yang benar dan jelas, struktur mentalitas yang kuat dan solid, serta karakter yang kokoh dan tangguh. Seorang muslim yang KUAT secara SOSIAL (Partisipasi), karena ia memiliki kesadaran partisipasi yang kuat, aset kebijakan yang terintegrasi dengan komunitasnya, dan menjadi faktor perekat dan pembawa manfaat dalam masyarakat. Seorang muslim yang KUAT secara PROFESI (Kontribusi), maka karena ia bekerja pada bidang yang menjadi kompeten intinya. Hal inilah yang menyebabkan ia selalu berorientasi pada amal, karya dan prestasi, serta secara konsisten melakukan perbaikan dan dan pertumbuhan yang berkesinambungan. “ (Matta 2009).

Amanah Pribadi
Menjadi hamba Allah, siapakah yang tidak merasa beruntung telah menjadi bagian dari agama rahmatan lil ‘alamin ini? Menjadi seorang muslim adalah suatu amanah dari Allah. Menjadi pribadi yang sholeh, adalah suatu keharusan bagi setiap umat islam. Maka, memperbaharui komitmen kita, meningkatkan kapasitas keimanan, wawasan keislaman adalah bekal utama kita mengemban amanah lainnya. Menjaga amanah kita sebagai seorang muslim berarti menjaga dan meningkatkan keshalihan individu dalam diri kita. Yakinlah bahwa Allah akan memberi keberkahan dan penjagaan yang menjadikan kebaikan dalam diri kita terus bertambah dan berlipat.  

Amanah Sosial
Seorang muslim pada dasarnya memegang amanah yang berat untuk menjadi khalifah di muka bumi. Menjadi penjaga alam semesta ini agar tercipta keseimbangan dan kebermanfaatan yang luas untuk masyarakat. Kita ingat manusia yang dikenal amanah, Muhammad namanya. Beban dakwah yang dipikulnya tak membuat ia surut hingga cacian, hujatan bahkan ancaman pembunuhan seakan-akan menjadi makanan pokoknya. Kita kenal juga seorang manusia yang ditegur Allah dengan cara yang tak biasa. Kasih sayang Allah begitu luar biasa pada seorang Nabi Yunus yang tengah lelah dengan amanah dakwahnya. Seorang paus menelan nabi Yunus lalu paus tersebut kemudian dimakan lagi oleh paus yang ukurannya lebih besar. Lantas Nabi Yunus berdoa dalam gelapnya perut paus itu dan menyadari kesalahannya. Sampailah paus itu ke tepian pantai, dan selamatlah Nabi Yunus. Hari ini, kita menyadari bahwa amanah sosial ini tidaklah seekstrim Nabi dan sahabat-sahabatnya terdahulu. Malu rasanya melihat beban dakwah yang tidak sebanding dengan ruh kita yang dangkal, pemahaman yang masih lugu bahkan mungkin senang mendebat suatu hal dan memutuskan perkara tanpa pertimbangan ilmu yang mendalam. Malu rasanya ketika manusia hari ini bukan menjadikan dirinya manfaat, tapi menjadi perusak muka bumi ini. Amanah sosial tidaklah cukup tanpa dilibatkan dengan kesadaran dirinya akan amanah seorang muslim, menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang menyerahkan urusannya kepada Allah semata dan meningkatkan ketaatannya. Ketika amanah pribadi sudah dijalankan dengan baik, maka tak ragu bahwa ia bisa menjalanai amanah sosialnya dengan sama baiknya pula.

Amanah Pribadi dan Sosial
Berjamaah adalah suatu keniscayaan. Seorang muslim tidaklah semerta-merta hidup untuk dirinya sendiri. Menjadi seorang muslim adalah menjadi seorang yang memiliki kesadaran dirinya sebagai hamba Allah dan Khalifah di muka bumi. Seperti yang dikatakan oleh seorang ulama dan sastrawaan ternama asal Mesir, Sayyid Quthb bahwa:
Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri,
Maka ia akan terasa singkat dan tak bermaknaTapi ketika hidup kita persembahkan untuk orang lain,
Maka ia akan terasa panjang, dalam, dan penuh makna

Menjadi seorang muslim adalah amanah yang tak ternilai harganya. Menjadi seorang muslim adalah menjadi pembelajar cerdas yang terus mengupayakan perbaikan dalam dirinya. Ia memiliki kesadaran diri sekaligus kesadaran sosial akan kontribusinya pada masyarakat. Ia akan memiliki obsesi untuk bekerja sebaik-baiknya, menghasilkan karya demi kemaslahatan umat diimbangi visi hidup yang jelas sebagai seorang hamba Allah. Ia lakukan itu semua sebagai pertanggungjawaban akan amanahnya sebagai seorang Muslim. Kesadaran pada amanah pribadi dan sosial ini akan membuat manusia menuju suatu titik konvergen pada satuan muslim pembelajar yang bergerak menuju kesempurnaan.

Maka niat yang baik, adalah salah satu modal untuk kita menjaga amanah-amanah ini. Ketika seorang muslim sudah berniat baik dalam setiap aktivitas Allah akan pertemukan kita dengan orang-orang baik, tempat baik dan hal baik lainnya. Semoga keberkahan tidak hilang dari kehidupan seorang muslim yang senantiasa terus berusaha untuk menjaga amanah hidupnya. Kepada siapa kita bertanggung jawab? Allah jawabannya. Wallahul Musta’an, semoga Allah menolong kita.

*** Whina Ayu Lestari  ***

Read More...

Senin, 09 Maret 2015

Mimpi dan(atau) Realita

Leave a Comment
Ah, aku rindu. Rindu bermimpi bersama kakak perempuanku. Yang bodohnya aku sama sekali tak mengerti isi mimpinya. Aku hanya menimpali dengan kata “he’em”. 11 tahun yang lalu tepatnya. Mimpinya sederhana, ingin membangun taman bacaan. Semua berawal dari tumpukan buku yang kami  koleksi bersama-sama sejak tahun 1986. Tentu saja, aku belum lahir saat itu. Budaya membaca memang sudah ditanamkan ayah sejak kami masih berusia 4 tahun. So far, kami bingung dengan buku-buku yang sudah dibaca berulang kali dan hanya tersimpan rapi hingga berdebu di lemari. Taman bacaan. Menarik sekali. Sayang, mimpinya belum terwujud saat itu. Berbagi kebahagian itu sebenarnya simpel. Cukup mengundang orang yang ingin membaca buku, duduk bersama sambil lelap dalam lautan kata. Tapi, siapakah orang-orang yang bisa kuajak? Nyatanya, mereka sedang asyik menatap layar sambil sesekali mentertawai sesuatu yang dipandangnya lekat-lekat. Tak peduli orang bilang apa karena semua melakukan apa yang mereka lakukan.Apakah itu kebahagian mereka? Ah, aku bingung dengan orang-orang di negeri ini sekarang


Dramaga, 9 Maret 2015
Pikiran random saat lagi bosan ngode di openCV
Read More...
Leave a Comment


"Aku iri, pada mereka yang ketika berjalan, irama langkahnya begitu teratur dan penuh keyakinan. Pada mereka yang diam namun banyak melahirkan pemikiran langit yang membumi, pada mereka yang sedikit berbicara namun ketika berbicara adalah ucap yang membuatku diam tak berdaya. Aku iri pada mereka yang berhasil mengetuk pintu-pintu hati yang mungkin sudah lama berkarat. Ternyata, sudah terlalu lama aku terdiam memperhatikan mereka. Kemana aku melangkah sekarang? Dan sebaik-baik tempat kembali adalah pada Tuhanmu. "
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

Read More...

Sabtu, 22 November 2014

Bikin Peta Pasca Kampus, Yuk!

Leave a Comment
Jika kita berbicara dunia pasca kampus, berapa orang sih yang siap memasukinya? Saya percaya bahwa setiap orang punya pilihan masing-masing ketika ia memikirkan identitas apa yang akan dia kenakan di setiap fase kehidupannya. Setelah fase anak-anak, identitas apa yang akan dia pakai ketika remaja? Menjadi remaja kutu buku? Aktivis? Anak nongkrong? Atau bahkan tidak memiliki identitas apapun? Setiap orang pada akhirnya harus menentukan pilihannya. Ketika kita masih berlindung di balik keperkasaan ayah atau kehangatan seorang ibu, kita ingat pertanyaan yang sering kita jawab secara spontan. “Mau jadi apa kalau jadi besar?” Notabene seorang anak akan mencari jawaban yang familiar di telinga, entah menjadi guru atau dokter. Dua identitas tersebut mungkin tampak hebat di matanya kala itu. Lantas, ketika ia sudah berada di tingkat kritis mahasiswa tingkat akhir barulah ia menyadari betapa klise jawabannya. Tidak salah ciwi-ciwi yang sudah mendekati detik-detik lengsernya jabatan mahasiswa mengalami tingkat kegalauan yang lebih besar dibanding adik-adiknya yang masih unyu-unyu di tingkat pertama. Hal ini terjadi ketika kita memang belum memiliki tujuan hidup yang jelas di setiap fase kehidupannya. Bahkan tak sedikit juga di antara kita yang belum mengetahui potensi, kekurangan,dan kelebihan yang dia miliki. Oleh karena itu, syarat pertama untuk menebas kegalauan tentang identitas apa yang akan kita pakai di dunia pasca kampus adalah kenali potensi kita. Rencanakan hidup kita 5 hingga 10 tahun ke depan. Menjadi mahasiswa lagi? Lanjut kerja menjadi seorang pegawai? Atau nikah dan menjadi seorang ibu?

Saat ini saya masih setuju dengan pendapat bahwa kuliah S1 pada dasarnya adalah membekali mahasiswa untuk menyiapkan diri di dunia nyata, yang sangat berbeda dengan apa yang diajarkan dosen. Terlalu nyaman jika kita hanya sibuk belajar di kelas tanpa membekali diri kita dengan kemampuan lain selama 4 tahun. Pada dasarnya kita berhak memakai identitas apapun selama itu adalah pilihan terbaik menurut kita. Pun dengan saya yang ingin memakai kembali identitas mahasiswa setelah menghadapi pasca kampus. Kuliah lagi, menjadi seorang research student.  Tak jarang teman-teman saya keheranan ketika melihat saya masih semangat kuliah dan ingin menekuni lagi bidang yang bersinggungan ilmu  komputer. Bidang yang tak banyak ditekuni oleh seorang wanita yang sarat dengan dunia STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematic).

Banyak yang berpandangan bahwa seorang wanita tidak perlu kuliah tinggi-tinggi toh akhirnya balik lagi ke dapur. “Kita hidup kan gak cuma buat kuliah tapi perlu berkarya”. Yap, betul sekali. Tapi bukan berarti berkarya harus dengan menghebat di perusahaan bonafit semata atau di balik pangkat seorang pegawai negeri. Kita bisa buat karya itu lahir dari pemikiran-pemikiran kita, kan? Jadi, opsi lanjut kuliah bisa dilakukan oleh mahasiswa yang memang passion dengan dunia pendidikan, riset, dan hal-hal berbau ilmiah. Rasanya wajar bagi mahasiswa FMIPA yang arahan ke depannya adalah menjadi seorang dosen atau peneliti. Lanjut kuliah S2 bahkan sampai S3 mungkin pilihan yang tepat jika dunia lab dan riset adalah passion nya. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa yang tidak termasuk di dalamnya? It’s up to you! Pahamilah potensi diri, petakan cita-citamu. Meminta petunjuk pada Allah untuk diberikan yang terbaik bagi masa depanmu.

Bagaimana jika sudah lanjut kuliah, tapi ternyata takdir berkata bahwa kamu tidak berhak menjadi seorang peneliti atau pun dosen? Lantas, sia-sia kah? Jawabannya tentu tidak. Lanjut kuliah S2 sampai S3 bukan masalah hanya mengejar gelar untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Ada banyak manfaat yang dapat diraih dari seorang wanita yang memilih berpusing-pusing ria dengan thesisnya. Sebelum menjadi perantara generasi selanjutnya, bukankah seorang anak berhak dilahirkan dari seorang ibu yang cerdas dan mencerdaskan? Seorang anak membutuhkan ibu yang terus tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan generasi sang anak. Jadi, tak usah ragu bagi yang senang menantang dirinya untuk menjadi pembelajar sejati.

Lanjut kerja pun tak ada salahnya jika memang kebutuhan terbesar setelah pasca kampus adalah membahagiakan orang tua dengan hal-hal bersifat materi. Jika menjadi wanita karir memang menjadi pilihan, pastikan itu tidak akan menghambat langkahmu untuk terus berada di jalan kebaikan yang Allah ridhoi. Begitu pun jika memilih opsi ke-3 : menjadi seorang ibu dengan menikah terlebih dahulu. Bila Allah sudah pertemukan jodohnya, mengapa tidak? Jika belum? Hanya ada dua pilihan : kerja atau kuliah? Silakan temukan passion dan sesuaikan dengan kebutuhannya. Poin pentingnya adalah apapun pilihan itu, pastikan kita akan terus menebarkan kebaikan dengan identitas yang kita pilih di dunia pasca kampus nanti.  Selamat memilih! :)
Read More...

Sabtu, 23 Agustus 2014

Keluarga 2 hari

Leave a Comment
Hem, anyway minggu-minggu ini sudah masuk masa perkenalanan maba baik yang baru masuk ke kampus atau fakultas. Yap, bagi kampus ipebe yang notabene gak mengenal perpeloncoan, maka MPKMB , MPF, maupun MPD menjadi cerita menarik tersendiri untuk dikisahkan kembali. Entah itu kekonyolan yang kita lakukan karena lupa bawa perlengkapan, cerita kekeluargaan dengan teman sekelompoknya dan bahkan cerita antara orang tua dan anak-anaknya. Loh kok? orang tua? anak-anak? Judulnya ko keluarga 2 hari? Yap, ini adalah cerita sebuah keluarga manis dalam bingkai Masa Perkenalan Fakultas (MPF) MIPA ipebe. Meskipun judulnya 2 hari sesuai dengan durasi MPF-nya, semoga faktanya kekeluargaan ini terjalin selamanya ya :)

Cerita berawal dari permintaan untuk menjadi pembimbing kelompok di masa perkenalan fakultas FMIPA. Harusnya sih mahasiswi menjelang tingkat akhir kayak saya lagi sibuk PKL di instansi, tapi alhamdulillaah kerjaan udah hampir beres dan saya bisa menyanggupi untuk membantu menjadi pembimbing kelompok. Yaah pembimbing kelompok itu semacam orang tua anak-anak kelompok gitu. Mau nolak juga gak enak, karena panitia-nya memang katanya kekurangan SDM. Gimana ga kurang, karena jumlah mahasiswa FMIPA angkatan 2012 yang terdiri dari 8 departemen hampir mencapai 1000 orang. Sedangkan SDM yang tersedia hanya sedikit. Ko bisa? ya secara normalnya orang gak akan mau mengorbankan waktu liburannya untuk jadi "orang tua" anak orang yang mau masuk fakultas kan ya? Memang kebetulan waktu MPF ini bertepatan dengan waktu liburan semester, jadi cukup jadi tantangan tersendiri bagi para panitia Masa Perkenalan Fakultas maupun Departemen. Tantangan untuk mengenalkan dunia fakultas yang dianggap masa-masa penentuan jati diri-nya. Masa-masa semester 3 yang biasanya bikin IP terjun payung setelah dilenakan dengan masa kuliah TPB (Tingkat persiapan bersama) yang dianggap masa SMA kelas 4. 

Alhamdulillah..
Read More...

Kamis, 17 Juli 2014

Karena di Bis itu, Kita Bercerita

1 comment
image
Perjalanan memang selalu menyisakan ruang untuk bertanya, berpikir, berharap dan bersyukur bila kita dapat memaknainya. Karena di bus itu, kita bercerita..

Dramaga - Bandung, 26 Juni 2014
Pagi-pagi sekali berangkat, masih jam 6 pagi. Ya, saya ingin pulang sejenak, merehatkan diri dari kepenatan aktivitas kampus. Menyempatkan diri untuk menatap wajah-wajah keluarga sebelum Ramadhan pertama. Ah, memang rumah itu selalu menjadi tempat yang menagih kerinduan.

Bus jurusan Leuwi**ng - Leuwipanjang berhenti di depan saya begitu sampai di pinggir jalan raya Kampus. Tepat ketika itu, ada dua mahasiswa yang sepertinya juga menantikan kedatangannya sambil membawa beberapa tentengan, semacam oleh-oleh khas Bogor. Hem, saya tidak sendiri rupanya. Yah, sudah tradisi bila pulang ke kampung halaman yang hanya 2 kali dalam setahun. Gak afdhol rasanya kalau gak bawa oleh-oleh meski hanya cemilan "fresh from the oven" kesukaan adik laki-laki saya.

Hap, saya sampai di dalam bus. Cepat-cepat mencari bangku kosong dan dapatlah di bangku paling depat di pinggir jendela setelah seorang ibu menawarkan bangkunya  begitu melihat saya kebingungan karena tidak ada bangku yang tersisa. Rupanya ia membawa anaknya yang masih kira-kira sekitar 7 tahun-an. Agak kasihan juga, merasa saya telah bersalah merebut bangku anaknya. Saya tersenyum, menghargai kebaikan ibu tersebut sambil berusaha menawarkan tempat duduk untuk anaknya meski hanya sedikit nyempil. Tapi ibu itu sangat baik dan malah menawarkan bangkunya untuk ibu-ibu separuh baya yang membawa seorang anak. Ia malah berpindah ke depan, menemani sang supir dengan duduk tanpa kursi. Ah, selalu. Perjalanan itu selalu menyisakan rasa syukur bahwa di antara puluhan orang di bus ini. "Ternyata masih ada orang berhati baik.."
Saya tersenyum pada ibu-ibu separuh baya yang menjadi teman sebangku saya dalam perjalanan Dramaga - Bandung itu. Ia kelihatan kerepotan menyuapi anak yang dibawanya.

" Ibu mau ke mana? " Saya bertanya memulai percakapan.
" Mau ke Dago " Ibu itu menjawab sambil tersenyum.
Suasana sudah agak cair, membuat Ibu itu terpancing untuk bercerita tentang ia dan anak yang sedang disuapinya.
" Ini cucu saya, dia malas makan kalau gak disuapi.. " 

Hipotesis saya yang menyatakan bahwa itu adalah anaknya rupanya salah besar, anak yang saya kira adalah anak kandungnya faktanya adalah cucunya. Akhirnya cerita panjang dimulai dari sana. Berawal dari perkenalan seorang mahasiswa hingga akhirnya saya mendapat kesimpulan bahwa saya bertemu dengan orang yang tidak sembarangan. Ibu yang telah melahirkan ilmuwan besar, salah satunya adalah dosen sekaligus al-ustadz di Kampus saya. Meskipun dosen tersebut adalah dosen dari fakultas lain, yaitu fakultas Peternakan tapi saya kenal karena beliau sering mengisi kajian di Mesjid Al-Hurriyyah.

"Dulu dia itu kuliah umurnya masih 15 tahun.. " Ibu itu bercerita penuh kebanggaan. 

Saat itu anaknya memang sangat muda sekali untuk menginjakan kaki di bangku kuliah. Bukan apa-apa, karena beliau memang punya potensi yang luar biasa dibanding anak-anak sebayanya. Ibu itu bercerita dengan semangat sekali menceritakan masa kecil anaknya. 

"Ibu, ibu. Aku bawa hadiah banyak. Aku menang lomba X,Y,Z.."

Yah, dosen kecil itu memang punya skill membuat orang lain skak-mat dalam berbagai perlombaan anak-anak. Potensi luar biasa yang dimiliki dosen kecil itu pun masih berlanjut ketika gurunya mengatakan bahwa dosen kecil itu tidak pantas untuk melanjutkan sekolah dasar lagi. Ia harus merelakan dirinya menggeluti dunia pendidikan lanjut yang sama sekali ia merasa asing. Merasa bahwa ia belum cukup dewasa untuk menerima perbedaan itu. Apalagi dengan badannya yang mungil namun otak yang besar itu ia harus menghadapi hari-harinya dengan penug kesedihan karena olokan "abang-abang" yang menjadi teman sekelasnya sejak ia dikeluarkan secara terhormat dari Sekolah Dasar. Ia memang terlalu berharga dan luar biasa menerima perbedaan itu. Bukan salahnya bahwa ia dikarunia kecerdasaan melebihi anak-anak pada seusianya. Ia harus berpisah dari sebuah desa di gunung terpencil ke pusat kota Kembang. Dimana kepedihan yang berbuah manis itu bermula.
Awalnya dosen kecil kesulitan untuk beradaptasi dengan pendidikan sekolah menengah pertama saat dirinya seharusnya masih mengenyam bangku kelas 5 sekolah dasar. Wajar bila ada gap anak desa ke anak kota sehingga ia kesulitan beradaptasi. Ia meraih peringkat kedua terakhir di kelas, tidak lagi peringkat pertama seperti kemarin. Ketika ia masih menikmati serunya bermain kelereng bersama teman sebanyanya, peringkat pertama itu mudah sekali ia dapatkan. Namun, sejak ia memulai dunia barunya dosen kecil itu merasa menjadi anak yang paling menyedihkan. Terlebih karena ejekan teman-temannya yang tak pernah berhenti sebab perawakannya yang kecil. Alakhir, ibunya membuat sebuah keputusan besar. Mengeluarkannya? Bukan, dosen kecil tidak dididik untuk menjadi pengecut. Ibunya percaya bahwa ada sebuah kekuatan besar untuk mendorong anaknya menjadi luar biasa.

" Kalau kamu gak mau diejek karena kamu masih kecil, tunjukan dengan prestasi kamu! Kamu harus belajar dan menjadi rangking satu"

Dosen kecil itu tertegun, merasakan ada angin segar berhembus di atas kepalanya. Ya, ibunya telah membuat keputusan yang tepat untuk anaknya. Memotivasinya untuk bangkit, bukan menyalahkan nasib anaknya apalagi sampai memutus rantai pendidikan. Sejak saat itu, dosen kecil meminta ibunya membangunkannya setiap jam 03.00 pagi. Terkadang ia belajar dengan terkantuk-kantuk, membuat ibunya turun tangan untuk  mengusapkan lap basah di wajahnya.
Lambat laun, dosen kecil mulai terbiasa belajar setiap pagi. Ia memang tipe orang yang hanya bisa belajar dalam suasana hening. Beruntunglah ibunya memahami karakter dosen kecil hingga ia terfasilitasi dengan bantuan ibunya. Dosen kecil mengalami perkembangan akademik yang luar biasa. Ia berhasil mengalahkan "abang-abang" di kelasnya.

"Ibu, ibu! Aku rangking satu!" Dosen kecil berteriak-teriak kegirangan.

Ibunya tersenyum sumringah. Bangga atas kerja kerasa anaknya. Harus melawan kantuk pada awalnya hingga akhirnya ia terbiasa menikmati siklusnya.

"Nah, sebagai rasa syukur kamu sekarang coba sholat tahajjud sebelum kamu belajar .." Ibunya berkata sambil tersenyum ke arah dosen kecil.

 Dosen kecil tak pernah sekalipun membantah perkataan ibunya. Ia sudah merasakan efek yang luar biasa dari ucapan ibunya seakan-akan itu keputusan paling tepat untuk hidupnya. Ia mulai terbiasa sholat malam dan merasakan banyak perubahan pula dalam hidupnya. Dosen kecil merasakan hidupnya banyak disuguhi dengan kenikmatan dan rezeki yang tak diduga-duganya.
Ia berhasil menyabet beberapa kejuaraan di sekolahnya. Ya, habibie kecil itu kini bukan lagi si perawakan kecil yang sering diejek "abang-abang" di sekolahnya. Ia berhasil meningkatkan kepercayaan dirinya dengan prestasinya tersebut. Ia menamatkan SMA ketika dirinya masih usia 15 tahun dan mulai menapaki masa perkuliahan hingga mengantarkan ia meraih gelar Cumlaude yang tak mudah dicicipi oleh mahasiswa di Bogor. Ibunya bercerita bagaimana dosen kecil belajar beradaptasi dengan kondisi asrama yang selalu gaduh sehingga ia kesulitan untuk berkonsentrasi ketika belajar. Ibunya selalu memberikan jawaban yang ampuh dan membuat dosen kecil merasakan efeknya yang luar biasa. Ia belajar ketika orang lain tidur, sholat malam dan belajar lagi hingga akhirnya fajar tiba. Begitu teman-teman sekamarnya bangun, ia sudah percaya diri untuk memulai perkuliahan di kelas setiap hari. Ya, perjalanan hidup tidak berhenti sampai di  sini. Setelah lulus, dosen kecil berazzam pada dirinya untuk melanjutkan kuliah. Ia ingin menjadi dosen, seperti cita-cita kecilnya. Bahwa ia memang ingin menjadi guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Yang gajinya mungkin tak seberapa dibanding para pengusaha, milyarder, atapun profesi lainnya yang menjajikan kenikmatan duniawi yang tak pernah memenuhi kadar kepuasan manusia.

"Bu, doakan saya, saya sekarang mau S2 ke Jerman..saya dapat beasiswa ke sana "

Sekali lagi ibunya hanya tersenyum. Ia hanya bisa mendoakan semoga ilmu yang didapatnya membawa manfaat bagi banyak orang. Ibu dari dosen kecil itu bercerita tentang kemudahan-kemudahan yang didapatkan anaknya ketika meneruskan kuliahnya. Ia mendapatkan beasiswa DAAD Jerman atas rekomendasi salah satu dosen di kampusnya. Dan baru kemarin ia meneruskan S3 lagi dengan tanpa biaya sepeser pun.

" Ibu, doakan saya. Saya dapat beasiswa lagi di Swiss untuk melanjutkan S3 di sana.. "

Ibu dosen kecil itu lagi-lagi tersenyum. Merasa bahagia mendengarnya. Bukan, bukan masalah anaknya yang dengan mudah mendapatkan beasiswa sehingga ia tidak perlu membiayainya. Lebih berharga dari sekedar itu adalah ia bahagia karena ia telah menjadi ibu yang berhasil memberi anaknya kekuataan ketika anaknya terpuruk. Ia berhasil membuat anaknya merasakan keberadaannya begitu berharga di dunia ini. Dosen kecil itu tak pernah absen meminta nasehat ibunya apapun masalahnya. Ia hanya bisa mengusahakan yang terbaik bagi anaknya namun tak luput dari campur tangan Allah. Meski takdir rezeki, jodoh, kelahiran, kematian adalah rahasia Allah dan sudah ditetapkannya jauh 50.000 tahun sebelum kita lahir ke dunia. Sejatinya, manusia hanya bisa berusaha.
Saya menyimak sambil sesekali menimpali. Mendengarkan dengan seksama dengan mata berbinar. Mendengarkan langsung dari pelaku yang membawa perubahan besar pada sosok hebat itu. Dosen yang saya kenal begitu tersohor di fakultas seberang. Bahwa di balik perjalanan karirnya, tersimpan sejarah yang membuktikan bahwa doa seorang ibu, peran seorang ibu dalam membangun karakter seorang anak adalah berharga. Kita, tanpa orang tua, tanpa ridho orang tua, tanpa ridho Allah tak berarti apa-apa.

Ibu itu sudah berhenti bercerita. Saya mengalihkan pandangan ke jendela. Memandang harapan besar jauh ke dalam hati kecil. Sudahkan melibatkan orang tua, terutama doa Ibu dalam setiap aktivitas kita? Sudahkan kita melibatkan Allah di setiap harapan kita? Di setiap mimpi kita? Allahu, mimpi menuju negeri sakura itu kian terasa. Menginjakan kaki di sana, menikmati suasana perkuliahan dei negara yang sarat Sains dan Teknologi dengan biaya yang tergolong sangat mahal mungkin mustahil bagi mahasiswa kalangan menengah ke bawah seperti saya. Tapi saya percaya, dosen kecil itu pun membuktikannya bahwa mimpi itu tidak semata-mata berasal dari tekad yang membaja dari diri kita. Bukan kita yang memiliki kekuatan Power Ranger. Tapi Allah, Allah yang memberi kekuatan dan kemudahan itu. Ridho Allah, ridho Orang tua. Manusia hanya bisa berusaha dan bertawakal. Faidzaa Azzamtu Fa tawakkal 'Alallaah... 
Karena di bus itu, kita bercerita..

Read More...