Rabu, 11 Januari 2012

Let it flow

2 comments
Hidup dalam tekanan, itulah ciri kehidupan melankolis. Well, saya akui saya sering merasa tertekan dengan hidup ini. Seseorang yang perfeksionis dan tak pernah puas dengan apa yang saya usahakan, terlebih kalo hasil tidak berbanding lurus alias konstan, itu yang bikin mood saya selalu ga karuan alias desperate. Kalo disuruh milih hal mustahil apa yang ingin kamu lakukan adalah balik lagi ke masa lalu!Masa sebelum SD, dimana saya sangat antusias buat ke sekolah padahal umur masih 3 tahun :P. Tetangga saya sering bertanya pada saya ketika saya keliling komplek dengan memakai seragam SD lengkap dan tas mungil yang digendong di atas punggung kecil saya. "De, kelas berapa?" saya jawab, "Kelas 2". Nanya lagi, " Rangking berapa?" Lucunya, ga ada kosakata lain selain angka 2 yang keluar dari mulut saya, "Rangking 2" Hehe.. bodo y, padahal sebut aja rangking 1.
Semangat pra-TK itu benar-benar real dan langka di zaman saya. Akhirnya, masa pembelajaran pertama di TK yang tanpa beban dan selalu menampakan keceriaan yang alami di wajah menambah semangat menggebu-gebu untuk belajar lanjut ke tingkat SD. Hidup cuma buat main, tidur,belajar gambar, ngitung, nulis dan nilainya tak jauh dari angka 100. What a perfect life. Transisi selanjutnya ke bangku SD, saya mulai ingin bersaing menjadi yang terbaik. Ucapan polos dari mulut anak kecil ini adalah, " Saya pengen kayak si teteh (sebutan untuk kakak perempuan dalam bahasa sunda) dapet hadiah naik ke panggung" membuat ibu saya selalu tersenyum mengingatnya.
Hehe, ternyata motivasi itu timbul dari iming-iming hadiah. Tapi toh, saya akhirnya menjadikan persaingan itu sebagai suatu kebutuhan. Saya menjadi anak kecil yang ambisi untuk selalu menjadi yang terbaik baik di SD maupun di Sekolah Madrasah Diniyah (Sekolah agama Islam). Bergeser posisi ke level 2 saja, saya sudah uring-uringan. Pernah ketika di MD peringkat saya turun ke peringkat 2 hanya karena beda 0,1 dengan rival saya, pulangnya saya tak bisa menahan kekecewaan dan tenggelam dalam tangisan di balik bantal. Ibu saya hanya bisa menenangkan dan menghibur saya. Entah, saat itu saya memang benar-benar belum bisa menerima kekalahan itu. Kekalahan adalah hal yang paling tidak saya sukai (sampai saat ini)

Selama 6 tahun, saya pernah gagal menjadi posisi yang ke 2 dan ke 3 selama satu kali dan 4 tahun di MD pernah gagal menjadi yang ke 2 sekaligus yang bikin emosi saya naik turun terhadap rival saya (serem y). Hidup saya selalu dipenuhi kewas-wasan, tak ingin melepaskan posisi pertama. Saya juga sering berkompetisi di pelajaran matematika dengan salah satu teman laki-laki saya di kelas. Lucunya, laki-laki itu selalu terlihat kesal dan sebal dengan saya karena ia tidak bisa mengalahkan saya. Saya juga pernah mengikuti perlombaan membaca cepat dan alhamdulillah juara 1 di tingkat kecamatan. Tapi sayang, saya gagal dan hanya masuk 10 besar terbaik di tingkat kabupaten :(. Bahkan, saya masih ingat suasana ruangan yang riuh rendah itu seperti mendukung kekalahan saya. Hari itu, saya kembali menyalahkan diri sendiri. Masa yang paling tidak ingin saya ulang adalah masa ini. Kenapa? Itu karena ada salah seorang anak laki-laki yang bossy dan kayaknya suka nge-fly walaupun dia gak pernah tertarik mengganggu saya karena segan, hehe. Tetap saja hal itu membuat hari-hari di sekolah tidak pernah tentram (entah gimana kabarnya dia sekarang, udah jadi orang apa belum)

Selepas dari SD, saya diterima SMP yang saat itu termasuk sekolah standar nasional dan terbaik di kabupaten saya (Mungkin, sekarang sudah RSBI). Sebagai anak daerah yang pengetahuannya standar-standar saja (karena pas SD jarang banget belajar efektif di kelas) saya merasa jauh tertinggal dan menjadi homo erectus selama beberapa bulan. Saya paling tertinggal di pelajaran Bahasa Inggris khususnya di bagian listening. Jujur, saya bukan anak yang senang mengikuti les di sana-sini sejak SD. Lagipula,saya tidak mau memberatkan orang tua dan menghabiskan jatah waktu bermain saya. Tidak seperti kebanyakan teman-teman yang dari kota mungkin terbiasa ikut les matematika, english, musik dll. Saya tipikal orang yang senang otodidak. Akhirnya, lambat laun saya mulai menikmati persaingan ini dengan berusaha semaksimal mungkin untuk unggul dalam pelajaran yang satu ini tanpa les sedikitpun. Saya pun mulai menyenangi pelajaran yang paling mematikan saya saat SD, Matematika. Tanpa sadar, saya mulai menjiwainya dan mulai gemar mengerjakan soal-soal matematika dengan rutin dibimbing oleh kakak kedua saya yang gak pernah bosan membentak saya ketika saya mulai menyerah dan tidak bisa mengerjakan salah satu soal. Yeah.. bagiku dia vampire berhati malaikat. Anyway, she's my best sista! Syukron katsiraa atas semua jasa-jasamu, Ka! Berkat bimbinganmu saya tidak alergi bahkan ketagihan mengerjakan semua soal-soal matematika! :D

Saya mencoba bertahan di posisi ke 2, 3 akhirnya bisa menjadi posisi pertama. Capek tapi happy, itu yang saya rasakan selama 3 tahun. Saya memang tidak hanya belajar di sekolah lalu pulang, saya mengikuti ekskul Pramuka dan mengikuti kegiatan rutinan pembinaan ruhiyah, halaqoh/mentoring. Boleh dibilang, masa-masa SMP adalah masa terindah yang penuh dengan keseimbangan antara akademis, organisasi, dan spiritual. Waw :D
Saya juga ikut seleksi Olimpiade, mulai dari biologi, kimia, matematika, dan fisika. Awalnya, saya hanya fokus untuk ikut seleksi Biologi karena tuntutan dari kakak pertama yang freak banget sama ilmu makhluk hidup ini. Lama kelamaan, saya merasakan keganjilan karena ini bukan bagian dari skill dan minat saya. Saya putuskan untuk memutuskan seleksinya. Tinggal 2 lagi, matematika dan fisika. Sebenarnya, saya lebih minat ke matematika, itu pun karena kakak kedua yang membuat saya semakin tertarik untuk mendalaminya. Keasyikan saat memecahkan persoalan matematika membuat saya akhirnya memilih fokus ke matematika. Tapi naas, perjuangan saya kandas di detik-detik terakhir ketika tes essay. Saya harus menerima bahwa saya tidak akan ikut salah satu olimpiade ini.

Nasib berubah ketika seorang teman mengusulkan untuk ikut seleksi olimpiade Fisika untuk perwakilan sekolah. Jujurnya saya kurang suka sebenarnya dengan fisika, tapi ya kasihan juga ga ada perwakilan sekolah dan sedikit sekali yang minat fisika karena paradigma ke-killeran pikiran Einstein yang njelimet. Akhirnya, saya menjadi perwakilan dalam olimpiade fisika tingkat kabupaten. Bermodalkan soal-soal SNMPTN (Bayangin sodara-sodara, soal SNMPTN untuk tingkat SMA saya lahap juga @, @) saya mantap mengikuti olimpiade fisika. Saya benar-benar tidak PD karena hanya bisa mengerjakan beberapa soal dengan yakin. Ah.. suasana perlombaan yang menegangkan itu saya rindukan sekarang hiks :(. Di akhir pengumuman, ternyata sekolah kami mendapatkan juara pertama, tapi itu bukan saya. Saya hanya bisa menduduki posisi ke-4 (kagok bener kan? padahal tinggal 1 langkah lagi ke posisi 3) Tapi, usaha saya memang sebandingn dengan hasil toh dari awal niat saya memang setengah-setengah. Niat yang tidak bagus dari awal akan menghasilkan hasil yang sebanding. Innamal a'malu binniat.

SMP kelas tiga, saya mulai terlibat lagi dalam lomba mata pelajaran SMP tingkat wilayah III Cirebon. Sayangnya, ternyata saya terpilih menjadi wakil sekolah sekaligus kabupaten bersama 9 orang yang lain. Padahal, saya pikir saya asal-asalan ikut seleksi, eh ternyata lolos. Padahal, saya sudah bertekad untuk nrimo dan tidak akan mengikuti perlombaan untuk sementara waktu menjelang Ujian Nasional. Karena beberapa prestasi saya selama 3 tahun lah yang menghantarkan saya mendapat bantuan prestasi dari Dinas Pendidikan. Hmmh, senangnya bukan main, apalagi orang tua yang datang mengambil uang itu. Alhamdulillah, saya lulus UN dengan nilai yang lumayan sehingga mengantarkan saya masuk ke SMA yang terfavorit di kabupaten saya yang juga merupakan sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional).

Malangnya lagi, persaingan ekstra harus saya hadapi di dunia putih-abu2 ini tepatnya di kelas RSBI yang ada di sekolah. Masa SMA yang notabene masa paling indah tidak pernah 'tuh' aku rasakan selain adanya persaingan ketat dan "markisme" yang membuat saya dongkol. Di bangku kelas XI, barulah saya menyadari bahwa pada hakikatnya manusia memang tidak pernah puas mengejar "Prestise" bukan "Prestasi". Saya tidak se-ambisius ketika masa SD. Hal yang aku sesali saat SMA adalah pembinaan ruhiyah saya sudah tidak teratur dan berganti arah dengan pembinaan keduniawian berupa pembinaan akademik dan akademik Ya, saya terlibat lagi dengan Olimpiade fisika O.0 Melankolis sejati yang tidak bisa menolak permintaan untuk berpartisipasi mewakili sekolah. Saya juga hanya aktif sebentar di Ekskul Ganesha Insan Komputer (GIt) selama 1 tahun karena kelas RSBI memang hanya diwajibkan memilih ekstrakurikuler yang dipilihkan agar tidak mengganggu kegiatan belajar atau menunjang pembelajaran. Untunglah, saya masih bisa merasakan organisasi forum rohis di luar sekolah (meskipun kenyataannya saya tidak mengikuti rohis SMA internal).

Menjelang Ujian Nasional, barulah saya menyadari bahwa hidup ini ya jangan dibuat ribet dan bikin kita desperate apalagi sampai stress. Pasalnya, saya mulai sering vertigo (pusing keleyengan serasa gempa bumi) karena terlalu memforsir urusan dunia. Hidup saya mulai tidak seimbang. Perfeksionisme melankolis pula yang menyebabkan saya sedikit berbeda dengan orang lain yang (maybe) nampak aneh. Saya ingin menikmati masa muda saya dengan bahagia dan tanpa tekanan Lakukan apa yang membuatmu bahagia, jangan terlalu menempatkan standar tinggi karena prestise di mata Allah lebih baik daripada prestise di mata manusia.

Di bangku kuliah ini, saya kini mencoba untuk menjalani hidup dengan seimbang. Memulai moto baru : Life is like a boat. Keep in balance *nyengir. Organisasi jalan, akademis jalan, dan spiritual pun harus dijaga. Walaupun kenyataannya saya harus kembali mempekerjakan otak saya dengan cukup berat mengingat departemen yang saya ambil juga bukan main-main: Ilmu Komputer yang sarat dengan coding, coding, dan coding. Mengutip perkataan bang Iwan Setiawan yang mengatakan, "Data is sexy
Lain halnya dengan saya, "Coding is beutiful" Haha.

Ya! I get back my soul now! Let your life flow, guys! Allah-lah yang akan memberikan segala yang terbaik untuk hambaNya.


2 komentar:

  1. keren!
    tapi tau kesan pertama membaca judul "Just let it Flow" ? aku berpikir kek ga punya arah :D
    air punya tujuan, walaupun dia jalan" ke danau, ke sungai, ke kolam, meresap ke dalam tanah, tp ujung"nya dia bermuara ke laut.
    ketika kita membiarkan diri kita mengalir mengikuti arus, kita hanya pasif mmbiarkan arus itu membawa kita kmanapun dia suka.
    aku pengen mengendalikan arus itu, ambisius yang sama ketika aku -atau kita- rasakan selama SD dan SMP akan mulai aku pacu lagi :)
    mudah-mudahan nilainya ga fluktuatif :D

    BalasHapus
  2. Iya, secara umum artinya memang seperti itu. Tapi bagiku enggak, biarkan apa adanya=tawakal di sini hehe. Usaha perlu, tapi gak perlu sampai dipikirin terlalu dalam. Soalnya ya tau sendiri aku paling anti kegagalan waktu kecil, alhmdulillah sejak SMA kelas 3 udah bisa ngendaliin sih ga peduli amat yg penting udah usaha dgn maksimal :D gitu.

    BalasHapus

please write a comment